Rabu, 25 Desember 2013, merupakan hari ke-4 saya di tanah
Banua, tepatnya di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Hari ini, saya “janjian”
ketemuan bersama ketua KAMMI Wilayah KALSEL akhuna Laifvan Shuffy Irwani.
Sungguh tak enak hati saya, awalnya kita akan bertemu di bandara Syamsuddin
Noer (yang sebenarnya ini sudah merepotkan beliau), beliau malah menjemput saya
ke penginapan saya di Pal 22, saya sangat berterimakasih atas kesediaan beliau
untuk mau repot-repot datang dari Banjarmasin yang jaraknya hampir 25 km dari
lokasi penginapan saya. Bersama, belalang tempur, Smash FK 110, kita tancap gas
ke Martapura, sekitar 10 km dari penginapan, atau 35 km dari Banjarmasin.
Karena kasihan sama akh Laifvan yang sudah berjuang menembus
debu-debu jalanan, maka saya memutuskan untu mengambil alih penyupiran sang
belalang tempur tersebut. Selama dalam perjalanan tersebut, ada banyak hal yang
kami bahas.
Pada pembahasan pertama, kami membahas masalah kaderisasi di
masing-masing KAMMI Wilayah, kebetulan saya berasal dari KAMMI Wilayah Sumatera
Barat, terutama pola rekruitasi dan riayah. Ternyata kondisinya tak jauh
berbeda, MK1 ternyata disambung dengan liqo’ di jama’ah tertentu. Kemudian pemekaran
KAMMI Komisariat dan KAMMI Daerah serta transformasi KAMMI Daerah menjadi
menjadi KAMMI Wilayah ternyata sangat mendukung program-program kaderisasi.
Meskipun, diawali dengan kader sedikit, hal tersebut bisa memulai pembangunan
infrastruktur organisasi untuk lebih matang lagi. Akh Laifvan menekankan
perlunya kader KAMMI untuk memegang pembinaan terhadap kelompok-kelompok MK,
jangan sampai hanya jago dijalanan, tapi tidak ada generasi yang akan mewarisi
gerakan.
Selanjutnya, pada pembahasan kedua, terkait kedekatan KAMMI
dengan kepala daerah di masing-masing wilayahnya. Untuk percepatan perubahan
dalam menyokong reformasi di daerah perlu dilakukan partnership antara gerakan
mahasiswa bersama dengan pemangku kebijakan di daerah, tak melulu dengan aksi jalanan
tapi juga dengan diskusi dan sumbang pikiran. Selain itu, akses tersebut bisa
dimafaatkan KAMMI daerah dan Wilayah untuk terdaftar di Kesbangpol
Kabupaten/Kota dan Provinsi, dari akses tersebut dapatlah kita menyerap
logistik dari APBD daerah, minimal kita dapat dalam kisaran IDR 50-150 juta
tiap tahun, ini cukup bagus dalam pembiayaan organisasi, tanpa perlu
mengandalkan proposal dan transferan dari alumni.
Ketika sampai diperbatasan antara Banjarbaru dan Martapura,
kami dikejutkan dengan hujan yang tiba-tiba menyambangi tanpa permisi dengan
gerimis. Singgahlah di “konter hape” untuk berteduh sejenak, sembari berteduh,
kami lanjutkan perbincangan tadi. Terkait kemunculan siluman yang muncul
ditataran pusat komando KAMMI, yaitu KAMMI Nasional. Berdasarkan perkembangan
yang ada, baru KAMMI Wilayah Jateng yang tegas mendukung PP KAMMI untuk
membersihkan “pemberontak-pemberontak”, karena sangat mengganggu stabilitas
organisasi secara umum. Banyak kader di daerah tertipu oleh gerakan yang
mengklaim diri sebagai KAMMI Nasional. Apapun alasan dari pengklaim-an
tersebut, ini merupakan bagian dari pembusukan terhadap gerakan mahasiswa.
Sadar atau tidak sadar, kami berpikir, kawan-kawan KAMMI Nasional segera
membubarkan diri, karena ini hanya akan dimamfaatkan oleh SBY dan kawan-kawan.
Kembalilah kepangkuan bumi pertiwi, kami menyadari itu adalah salah satu bentuk
kecintaan mereka terhadap organisasi ini. Namun, cinta tak selama pahit, selalu
ada kemanisan dibalik itu semua.
Tobat gerakan, kunci dari semua ini, semua elemen gerakan
perlu memahami kembali hakikat dari bergeraknya didalam organisasi dakwah ini.
Tak perlu mengedepankan ego. Bersinergilah dengan baik, PW KAMMI Megapolitan
adalah kawan terbaik bagi PP KAMMI. Kawan berbagi rasa dan suka duka. Karena kita
sadari betul, pusat kekuasaan bukan di Banjarmasin atau Padang, tapi di
Jakarta.
Akhirnya, kami sampai juga di Martapura. Martapura adalah ibukota dari kabupaten
Banjar, yang mana terkenal dengan intan dan batu permatanya. Sumber PAD-nya
berasal dari tambang batu bara dan mineral lainnya. Suasana disini,
mengingatkan saya kepada Padang Panjang, serambi Mekkah-nya Sumatera Barat,
atau mungkin seperti daerah Daarut Tauhid-nya Aa Gym di Geger Kalong, Bandung.
Rata-rata, kaum binian (perempuan) menutup aurat, sungguh pemandangan yang
langka dan “menenangkan” hati, mereka
sungguh anggun dan memesona, sehingga akh Laifvan menimpali dengan kalimat,
“urang Banjar, bungas banar”, Subhanallah.
Kami menyambangi toko yang menjual batu permata dan berlian.
Sebagai komoditas yang mendukung pariwisata di kota ini, harga batu permata dan
berlian cukup terjangkau alias “papadaan” atau harga kekerabatan. Setelah beres
berburu batu permata, kami singgah di pasar Batuah, untuk mencari makanan khas
banjar, Soto Banjar. Soto Banjar ini sungguh menarik hati, rasanya tidak tajam
menurut lidah saya, tapi cukup nyaman untuk batambuah. Soto mainstream biasanya
pakai nasi sebagai sumber karbohidratnya, kalau pada soto Banjar, diganti
dengan lontong, hal ini sangat baru bagi saya sebagai pencinta kuliner cita
rasa nusantara. Ditemani dengan sepuluh tusuk sate ayam khas banjar, soto
tersebut lenyap sudah dari piringnya, berpindah alam.
Lepas kami mengisi perut, kami berangkat ke Masjid Karomah,
Martapura, untuk menunaikan sholat Dzuhur, pada pukul 12.30-an WITA. Masjid ini
berdasarkan cerita akh Laifvan, merupakan masjid kedua terbesar di Kalimantan
Selatan, setelah masjid Raya Sabilal Muhtaddin, Banjarmasin. Tapi paling ramai
jamaahnya. Masjid ini merupakan perpaduan arsitektur tradisional dan modern, kayu
ulin yang menjadi tiang penyangga tidak diganti, karena memiliki nilai yang
sangat tinggi. Dahulu, ketika pembangunan masjid ini, para ulama kala itu,
bersusah mendatangkan kayu Ulin ke lokasi pendirian masjid tersebut, tidak jauh
berbeda dengan masjid Agung Demak.
Setelah selesai sholat, kami kembali berbincang-bincang, dilatarbelakangi
oleh hujan yang lebat, dipelataran masjid Karomah, kali ini, topiknya adalah
wacana pengembalian pemerintah daerah kepada kesultanan Banjar. Akh Laifvan
menyepakati hal tersebut jika kesultanan digunakan untuk melestarikan budaya,
tapi beliau sangat marah jika dijadikan sebagai alat politik bagi penguasa dan
pemangku kekuasaan di kabupaten Banjar tersebut. Jangan sampai politik dinasti
kembali hidup sebagaimana Banten, hal ini sangat merusak tataran birokrasi dan
mencederai demokrasi kerakyatan di negara kita ini. Sudah cukup daerah-daerah
istimewa macam Aceh dan Jogjakarta, sudah saatnya kesetaraan birokrasi bagi
seluruh kabupaten / kota di negara ini berlaku, tanpa memandang system dinasti
tersebut.
Setelah hujan reda, kami putuskan untuk kembali ke
penginapan saya, namun sebelumnya kami singgah dulu di tepi jalan untuk makan
rujak, tepatnya di kota Banjarbaru, rujaknya enak dan tentunya “murah banar”.
Pengalaman luar biasa bersama akh Laifvan yang cuma 5 jam, menghasilkan tulisan
sebanyak 11 paragraf dan 957 kata.
Banjarbaru, 25 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment