Thursday, December 26, 2013

Banjarbaru – Martapura



Rabu, 25 Desember 2013, merupakan hari ke-4 saya di tanah Banua, tepatnya di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Hari ini, saya “janjian” ketemuan bersama ketua KAMMI Wilayah KALSEL akhuna Laifvan Shuffy Irwani. Sungguh tak enak hati saya, awalnya kita akan bertemu di bandara Syamsuddin Noer (yang sebenarnya ini sudah merepotkan beliau), beliau malah menjemput saya ke penginapan saya di Pal 22, saya sangat berterimakasih atas kesediaan beliau untuk mau repot-repot datang dari Banjarmasin yang jaraknya hampir 25 km dari lokasi penginapan saya. Bersama, belalang tempur, Smash FK 110, kita tancap gas ke Martapura, sekitar 10 km dari penginapan, atau 35 km dari Banjarmasin.


Karena kasihan sama akh Laifvan yang sudah berjuang menembus debu-debu jalanan, maka saya memutuskan untu mengambil alih penyupiran sang belalang tempur tersebut. Selama dalam perjalanan tersebut, ada banyak hal yang kami bahas.

Pada pembahasan pertama, kami membahas masalah kaderisasi di masing-masing KAMMI Wilayah, kebetulan saya berasal dari KAMMI Wilayah Sumatera Barat, terutama pola rekruitasi dan riayah. Ternyata kondisinya tak jauh berbeda, MK1 ternyata disambung dengan liqo’ di jama’ah tertentu. Kemudian pemekaran KAMMI Komisariat dan KAMMI Daerah serta transformasi KAMMI Daerah menjadi menjadi KAMMI Wilayah ternyata sangat mendukung program-program kaderisasi. Meskipun, diawali dengan kader sedikit, hal tersebut bisa memulai pembangunan infrastruktur organisasi untuk lebih matang lagi. Akh Laifvan menekankan perlunya kader KAMMI untuk memegang pembinaan terhadap kelompok-kelompok MK, jangan sampai hanya jago dijalanan, tapi tidak ada generasi yang akan mewarisi gerakan.

Selanjutnya, pada pembahasan kedua, terkait kedekatan KAMMI dengan kepala daerah di masing-masing wilayahnya. Untuk percepatan perubahan dalam menyokong reformasi di daerah perlu dilakukan partnership antara gerakan mahasiswa bersama dengan pemangku kebijakan di daerah, tak melulu dengan aksi jalanan tapi juga dengan diskusi dan sumbang pikiran. Selain itu, akses tersebut bisa dimafaatkan KAMMI daerah dan Wilayah untuk terdaftar di Kesbangpol Kabupaten/Kota dan Provinsi, dari akses tersebut dapatlah kita menyerap logistik dari APBD daerah, minimal kita dapat dalam kisaran IDR 50-150 juta tiap tahun, ini cukup bagus dalam pembiayaan organisasi, tanpa perlu mengandalkan proposal dan transferan dari alumni.

Ketika sampai diperbatasan antara Banjarbaru dan Martapura, kami dikejutkan dengan hujan yang tiba-tiba menyambangi tanpa permisi dengan gerimis. Singgahlah di “konter hape” untuk berteduh sejenak, sembari berteduh, kami lanjutkan perbincangan tadi. Terkait kemunculan siluman yang muncul ditataran pusat komando KAMMI, yaitu KAMMI Nasional. Berdasarkan perkembangan yang ada, baru KAMMI Wilayah Jateng yang tegas mendukung PP KAMMI untuk membersihkan “pemberontak-pemberontak”, karena sangat mengganggu stabilitas organisasi secara umum. Banyak kader di daerah tertipu oleh gerakan yang mengklaim diri sebagai KAMMI Nasional. Apapun alasan dari pengklaim-an tersebut, ini merupakan bagian dari pembusukan terhadap gerakan mahasiswa. Sadar atau tidak sadar, kami berpikir, kawan-kawan KAMMI Nasional segera membubarkan diri, karena ini hanya akan dimamfaatkan oleh SBY dan kawan-kawan. Kembalilah kepangkuan bumi pertiwi, kami menyadari itu adalah salah satu bentuk kecintaan mereka terhadap organisasi ini. Namun, cinta tak selama pahit, selalu ada kemanisan dibalik itu semua.

Tobat gerakan, kunci dari semua ini, semua elemen gerakan perlu memahami kembali hakikat dari bergeraknya didalam organisasi dakwah ini. Tak perlu mengedepankan ego. Bersinergilah dengan baik, PW KAMMI Megapolitan adalah kawan terbaik bagi PP KAMMI. Kawan berbagi rasa dan suka duka. Karena kita sadari betul, pusat kekuasaan bukan di Banjarmasin atau Padang, tapi di Jakarta.

Akhirnya, kami sampai juga di Martapura.  Martapura adalah ibukota dari kabupaten Banjar, yang mana terkenal dengan intan dan batu permatanya. Sumber PAD-nya berasal dari tambang batu bara dan mineral lainnya. Suasana disini, mengingatkan saya kepada Padang Panjang, serambi Mekkah-nya Sumatera Barat, atau mungkin seperti daerah Daarut Tauhid-nya Aa Gym di Geger Kalong, Bandung. Rata-rata, kaum binian (perempuan) menutup aurat, sungguh pemandangan yang langka  dan “menenangkan” hati, mereka sungguh anggun dan memesona, sehingga akh Laifvan menimpali dengan kalimat, “urang Banjar, bungas banar”, Subhanallah.

Kami menyambangi toko yang menjual batu permata dan berlian. Sebagai komoditas yang mendukung pariwisata di kota ini, harga batu permata dan berlian cukup terjangkau alias “papadaan” atau harga kekerabatan. Setelah beres berburu batu permata, kami singgah di pasar Batuah, untuk mencari makanan khas banjar, Soto Banjar. Soto Banjar ini sungguh menarik hati, rasanya tidak tajam menurut lidah saya, tapi cukup nyaman untuk batambuah. Soto mainstream biasanya pakai nasi sebagai sumber karbohidratnya, kalau pada soto Banjar, diganti dengan lontong, hal ini sangat baru bagi saya sebagai pencinta kuliner cita rasa nusantara. Ditemani dengan sepuluh tusuk sate ayam khas banjar, soto tersebut lenyap sudah dari piringnya, berpindah alam.

Lepas kami mengisi perut, kami berangkat ke Masjid Karomah, Martapura, untuk menunaikan sholat Dzuhur, pada pukul 12.30-an WITA. Masjid ini berdasarkan cerita akh Laifvan, merupakan masjid kedua terbesar di Kalimantan Selatan, setelah masjid Raya Sabilal Muhtaddin, Banjarmasin. Tapi paling ramai jamaahnya. Masjid ini merupakan perpaduan arsitektur tradisional dan modern, kayu ulin yang menjadi tiang penyangga tidak diganti, karena memiliki nilai yang sangat tinggi. Dahulu, ketika pembangunan masjid ini, para ulama kala itu, bersusah mendatangkan kayu Ulin ke lokasi pendirian masjid tersebut, tidak jauh berbeda dengan masjid Agung Demak.

Setelah selesai sholat, kami kembali berbincang-bincang, dilatarbelakangi oleh hujan yang lebat, dipelataran masjid Karomah, kali ini, topiknya adalah wacana pengembalian pemerintah daerah kepada kesultanan Banjar. Akh Laifvan menyepakati hal tersebut jika kesultanan digunakan untuk melestarikan budaya, tapi beliau sangat marah jika dijadikan sebagai alat politik bagi penguasa dan pemangku kekuasaan di kabupaten Banjar tersebut. Jangan sampai politik dinasti kembali hidup sebagaimana Banten, hal ini sangat merusak tataran birokrasi dan mencederai demokrasi kerakyatan di negara kita ini. Sudah cukup daerah-daerah istimewa macam Aceh dan Jogjakarta, sudah saatnya kesetaraan birokrasi bagi seluruh kabupaten / kota di negara ini berlaku, tanpa memandang system dinasti tersebut.

Setelah hujan reda, kami putuskan untuk kembali ke penginapan saya, namun sebelumnya kami singgah dulu di tepi jalan untuk makan rujak, tepatnya di kota Banjarbaru, rujaknya enak dan tentunya “murah banar”. Pengalaman luar biasa bersama akh Laifvan yang cuma 5 jam, menghasilkan tulisan sebanyak 11 paragraf dan 957 kata.

Banjarbaru, 25 Desember 2013.

No comments:

Post a Comment