Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Syarak mangato,
adaik mamakai. Inilah falsafah hidup orang Minang Kabau. Sangat saklek
dan tak kompromis. Anak-anak mudanya dipelihara dan dibesarkan dengan
nilai-nilai ini. Ruh keislaman yang sangat kental, masih beraroma pekat.
Muda-mudi diajarkan menutup aurat sejak usia sangat dini. Dari tingkat
sekolah dasar bahkan TK, sampai level perguruan tinggi, generasi muda
sudah diajarkan poin-poin positif yang menjadi dasar pandangan hidup.
Namun,
paparan diatas seakan menjadi omong kosong belaka, ketika kesucian
falsafah tadi dengan praktek lapangan jauh melenceng. Sungguh
menyedihkan dan sangat memalukan. Apa yang dibangga-banggakan dari
falsafah yang murni itu telah dicoreng dengan telak oleh praktek
prostitusi yang merajalela. Sebagaimana berita-berita berikut ini:
- http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4558:prostitusi-di-kota-padang-bak-api-dalam-sekam&catid=11:opini&Itemid=83
- http://news.okezone.com/read/2010/06/17/340/343750/di-padang-psk-tidak-mangkal-tetapi-keliling
- http://regional.kompasiana.com/2011/04/26/aids-di-kota-bukittinggi-nomor-dua-di-sumatera-barat-359983.html
Kenyataan
lapangannya, sungguh sangat mengerikan dan menggenaskan. Berjalanlah
kita ke Bukit Lampu, banyak sekali Kafe remang-remang pada malam hari
yang menawarkan hiburan karaoke sebagai kedoknya, padahal terjadilah
transaksi kelamin di sana. Di dalam kota Padang sendiri, kita bisa
dengan mudah mengakses bisnis gelap ini, cobalah sekali-kali sekedar
duduk di tepi jalan pada malam kawasan Taman Budaya, tanpa perlu
melakukan banyak gerakan, mobil-mobil bermerk Avanza atau Xenia akan
menghampiri, menawarkan perempuan-perempuan untuk “dipakai”. Lalu
bermainlah kita ke daerah Pondok, Padang, di sana ada café-cefe yang
juga menjadi tempat memilih para pelacur tersebut.
Daerah
Bukittinggi yang juga merupakan salah satu icon Sumatera Barat, sebagai
kota Wisata pun tak luput dari praktek haram tersebut. Prakteknya
diselubungi dengan tempat pijat, Spa atau cafe. Ada juga hotel-hotel
yang menjadi penampung praktek tersebut. Belum lagi kita tinjau di
daerah perbatasan seperti daerah Pangkalan Koto Baru. Praktek tersebut
menjamur.
Seperti penelusuran yang dilakukan, beberapa
praktek tersebut malah dibekingi oleh para aparat berseragam, apakah itu
coklat ataupun loreng. Ada back up yang membuat bisnis ini makin
merajalela. Terakhir kasus pemukulan wartawan di daerah bukit lampu,
terkait peliputan praktek prostitusi tersebut.
Lalu siapa
yang bertanggung jawab? Ulama, Niniak Mamak, Pemangku Kekuasaan dan kita
semua. Namun disini, kita menyorot kinerja Gubernur Sumatera Barat,
sampai sejauh mana langkah-langkah antisipatif dan preventif dilakukan?
Sejauh mana ketegasannya selama berkuasa dalam memberantas hal tersebut?
Ini jadi pertanyaan besar. Jangan lagi bersembunyi dibalik otonomi
daerah untuk bertindak tegas. Ini ranah minang sedang darurat moral. Tak
perlu gubernur ragu, karena masyarakat siap membantu.
Pun,
Walikota Padang yang baru, ditantang dengan hal serupa, mampukah
melenyapkan prostitusi di Padang. Jangan sampai kalah dengan walikota
sebelumnya, meskipun tak dilenyapkan semuanya. Minimal, jalan-jalan di
daerah taman budaya sudah terang, ada Satpol PP yang berjaga-jaga di
sana, siapa yang kedapatan sedang “manggaleh” langsung saja “dicokok”,
begitu pula di Bukit Lampu, dirikan saja Posko Pol PP di sana, biar bisa
razia setiap hari.
Para ulama dan juga orang tua, harus
betul-betul menginternalisasikan nilai-nilai agama kepada generasi
mendatang. Seperti etos kerja dan disipilin. Semuanya punya tanggung
jawab yang sama.
No comments:
Post a Comment