Wednesday, April 13, 2016

Kaderisasi Surau

Dahulu, anak laki-laki Minang, ketika berusia remaja, sudah tak ada tempat lagi tempatnya diatas rumah orang tuanya. Mereka bermalam di surau dan pulang hanya untuk mengisi perut. Di surau mereka belajar ilmu agama dan hakikat, ilmu beladiri, ilmu tentang dunia. Akibatnya, mereka punya daya tahan yang sangat kuat dan memiliki imunitas ideologis yang bagus ketika merantau. Mereka akan lebih fokus dalam menggapai cita-cita. Sebutlah Hatta, Natsir, Hamka, Tan Malaka, dan lainnya, mereka adalah produk kaderisasi surau.


Minangkabau hari ini, anak mudanya mungkin sudah mulai tak akrab dengan surau, mungkin sudah masuk pengaruh globalisasi. Jangankan untuk tinggal di surau, ke Surau untuk Sholat banyak yang malas. Mereka lebih akrab dengan kafe-kafe atau warnet game online, rela tidak pulang. Inilah awal dari krisis identitas bagi anak muda Minangkabau. Wajar, dalam beberapa dekade terakhir, sudah jarang sekali kiranya tokoh asal Minangkabau mengindonesia apalagi mendunia.

Kaderisasi Surau hari ini mungkin sulit diadaptasikan dengan model lawas. Karena, orang tua di Minangkabau sudah telanjur membangun kamar untuk anak bujangnya. Dan komunitas sudah tak lagi membudayakan surau sebagai inkubasi ideologis bagi anak bujang. Keluarga dan komunitas sudah tak lagi mensupport sistem kaderisasi surau.

Kaderisasi Surau jika di daerah Jawa identik dengan Pesantren. Mungkin, di tengah era globalisasi ini, paling aman menitipkan anak ke pesantren. Ini kearifan lokal orang Jawa, bagaimana dengan kearifan lokal orang Minang, apakah kaderisasi surau akan punah sepunah-punahnya?

No comments:

Post a Comment